Salam Pemuda-pemudi Indonesia ! Bulan April, bulan kartini, bulan yang identik dengan kisah emansipasi wanita. Emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh R.A Kartini adalah hak perempuan untuk mendapat pendidikan yang sama dengan kaum laki-lak dan perlindungan, namun dalam perjalanannya emansipasi sering diartikan dengan kebebasan untuk bisa melakukan pekerjaan seperti laki-laki. Dan beberapa waktu ini pula salah satu bentuk yang dikatakan oleh banyak orang termasuk emansipasi wanita menjadi isu yang hangat dibicarakan, isu ini terkait dengan RUU kesetaraan gender , mengapa isu ini lagi-lagi harus dibahas ? Apa pentingnya?
Mengapa kita harus repot-repot memikirkan RUU kesetaraan gender ini? mengapa kita harus repot-repot berdiskusi tentang ini? mengapa harus berdebat mengenai ini? bukankah ini sebuah rencana aturan yang tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keadaan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, teknologi bangsa ini? masih banyak urusan yang lebih penting dari hanya sekedar menghabiskan waktu untuk berbicara tentang RUU ini.. ini juga tidak ada pengaruhnya dengan kita...yang mahasiswa akan tetap eksis dengan kesibukan kuliah, para ibu juga sudah bahagia dengan keluarganya, para politikus juga akan tetap berpolitik semau mereka, semua tetap akan berjalan sebagaimana mestinya walaupun RUU ini ada, lagi pula hanya soal wanita bisa melakukan apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki, dan bukankah supaya kekerasan dan ketidakadilanterhadap wanita bisa diatasi? Lalu, apa pentingnya kita berdebat masalah ini? ya sudahlah! saling menghargai saja!
“adakah pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan seperti itu muncul di benak teman-teman sekalian?” Jika ya, mari kita bahas bersama untuk mencari titik terang dimana sebenarnya yang dipermasalahkan dilihat dari perspektif islam. jika tidak, kita perlu tahu dan punya pandangan terkait isu ini....karena isu ini terkait dengan aqidah jika kita adalah seorang muslim...masalah aqidah bukanlah main-main...urusan agama adalah urusan sungguh-sunguh. Di bagian yang mana? Nanti akan kita bahas. Dapat pula dalam pandangan pihak lain, sepertinya kaum muslim sangat frontal mementingkan kepentingan agama mereka terkait RUU keadilan dan kesetaraan gender ini, seolah-olah hanya hukum islam yang harus diterapkan di negeri ini, padahal bukankah negeri ini adalah negara hukum dengan masyarakatnya yang begitu heterogen? Apa maksudnya umat Islam selalu berfikir untuk memasukkan hukum islam di kebijakan-kebijakan pemerintah? Bukankah sudah terlalu banyak toleransi negeri ini terhadap hukum islam dengan mengadopsi hukum Islam dalam beberapa undang-undang, contohnya saja undang-undang perkawinan? Cukup Sudah!” , “Benarkah seperti itu kawan?”
Lalu, bagaimana dengan pandangan umat lain yang tentunya juga punya ketentuan dan hak perempuan dalam perpektif agama mereka untuk dibicarakan dalam RUU ini atau bahkan perlu diperjuangkan agar tidak berlawanan dengan agama mereka ?
Islam memang agama yang mayoritas di Indonesia, namun bukanlah itu alasan utamanya, bukan pula maksud untuk memasukkan hukum Islam dengan tujuan agar bisa menguasai yang lain. Alasan utamanya adalah karena RUU ini bertentangan dengan syariat Islam, dimana bagian yang bertentangan? Akan dibahas selanjutnya, namun sebuah penyerderhanaan dari ust Habiburrahman El Shirazy lebih mudah kita pahami untuk menjelaskan pertentangan RUU ini, “ Sederhananya persamaan gender kaya gini. "Perempuan punya hak buat jadi imam shalat 5 waktu dan makmumnya laki2. Karena RUU itu membolehkan persamaan gender..
Dengan RUU, waris disamakan, poliandri dan aborsi dibolehkan, Gay, lesbian, perkawinan beda agama, bisa menjadi bagian dari undang-undang, Jika suami mencolek istrinya, sang istri tak setuju, maka itu dianggap kekerasan dalam rumah tangga. Suami diadukan ke pihak berwajib dan dikenai delik hukum. Suami bisa dikenakan hukuman 12 tahun penjara, lebih berat dibanding berzina, hanya kena 9 bulan.”1
Suatu negara jika membuat peraturan akan dilaksanakan oleh masyarakatnya, masyarakat di Indonesia mayoritas adalah Islam, maka akan menjadi ironis , dan suatu ketidakpedulian terhadap agamanya jika Umat Islam tidak memperjuangkan dicabutnya RUU ini. Bagaimana mungkin di negara yang mayoritas Islam diterapkan hukum yang berlawanan dengan agama Mayoritas padahal yang akan melaksanakan hukum itu adalah penduduk Mayoritas? “Tapi bukankah tidak semua umat islam menentang? bukankah golongan-golongan tertentu saja yang menolak? tidak ada masalah untuk yang lain?” iya memang, karena tidak semua golongan peka, peduli, paham, mau, dan mampu menyampaikan penolakan terhadap substansi dari RUU ini.
Berbicara masalah kekerasan yang termasuk Latar belakang adanya RUU ini, di kuliah yang pernah Saya ikuti dikampus , ada wacana dari seorang narasumber yang berkecimpung dalam kekerasan terhadap perempuan dan kesetaraan gender, sejatinya beliau sempat mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak ada pengaruhnya walaupun negara tersebut diterapkan syariat Islam, seperti di Arab misalnya,,,angka kekerasan terhadap perempuan masih saja tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding negara-negara barat yang notabene Liberal. Lalu dimana letak kesesuain ajaran Islam dengan Implementasi di masyarakatnya? Dimana letak agama bisa diterapkan tidak bertentangan dengan budaya setempat? Jika dibilang karena Perempuan di negara-negara barat/liberal yang berpenampilan mengundang syahwat lelaki sehingga akhirnya melakukan kekerasan, berarti harusnya di Arab tidak terjadi kekerasan karena perempuannya saja berpakaian berlapis-lapis, hingga hanya terlihat matanya?! Menyikapi pernyataan ini, kita boleh saja berpendapat sesuai dengan sudut pandang masing-masing, ( namanya saja diskusi ), hanya saja mari kita melihat dari akar permasalahan munculnya kekerasan terhadap wanita ( perspektif pribadi penulis ).
Pertama, saya ingin mengatakan bahwa pakaian seorang muslimah bukan bertujuan untuk menjaga mereka dari kekerasan, bukan agar mereka tidak menarik syahwat laki-laki...tapi tujuannya adalah karena taat pada perintah Allah, karena Allah memerintahkan mereka untuk menutup Aurat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Perkara mereka terlindungi dari semua gangguan itu karena Apapun Perintah Allah dan Rasulnya pasti ada maksudnya, itulah maksudnya agar muslimah tidak diganggu, dan sebagainya. Semua keuntungan yang diperoleh Muslimah karena menutup aurat mereka adalah Hikmah ( atau bisa dibilang sebagai akibat dari sebabnya menaati Perintah Allah & Rasul ) jadi menjalankan agama tidak bisa semata-mata dengan logika, tapi pada keyakinan hati terhadap sang pencipta. Kalau hanya pakai logika, bisa kita ambil contoh, ”kenapa umat Islam tidak boleh makan Babi?” Kalo dijawab pakai logika, “karena banyak cacing pitanya”, “cacing pita bisa dihilangkan,bisa diproses sampai benar-benar steril, kandungan dalam daging yang tidak di inginkan bisa saja diproses agar hilang sehingga tidak mengandung mudharat”. Namun bukan itu alasannya, alasannya adalah karena itu Perintah Allah, “kalau begitu, jawab saja semuanya perintah Allah! “ “memang iya”, “bukankah yang lebih tahu sampai sedetail mungkin tentang apa yang dibuat adalah sang pembuatnya? Ya begitulah kita, walaupun kadang yang membuat tidak menjelaskan, namun semua pasti ada maksudnya, bukankah yang membuat ingin apa yang dibuatnya selalu terjaga, tidak rusak?”
Namun yang dalam hal ini, saya melihat terjadinya kekerasan terhadap wanita bisa multifaktorial. Dari yang diutarakan sebelumnya, yaitu tentang angka tingkat kekerasan di Arab dibandingkan dengan negara barat,,,jujur saya sendiri belum mengecek kebenarannya pada narasumber yang mengatakan hal itu dan belum pula pada sumber lain, jikapun ada sumber yang mengatakan hasil yang seperti disebutkan oleh salah satu narasumber dalam kuliah tentang Gender di kampus saya, maka hasil suatu penelitian juga harus dicek tingkat kevalidatasannya, dan tidak hanya melihat pada satu sumber untuk menyampaikan suatu opini atau gagasan, jadi saya belum berani membahas lebih jauh mengenai ini, ( salah-salah bisa dituntut :) ) hanya saja, saya memandang kita perlu menganalisis terkait dengan kesesuain ajaran agama dan pemahaman, pengamalan umatnya. apakah selama ini kita telah menjalankan agama sesuai dengan apa yang diajarkan ? merunut pada terjadinya kekerasan terhadap wanita, asal kekerasan itu terjadi tidak lain adalah dari manusia yang melakukan kekerasan itu, manusia yang bagaimana? Manusia yang taat beragama? ”Bagaimana dengan orang yang berperilaku baik tapi tidak harus menerapkan semua ajaran agama?, kan yang penting punya perilaku baik”, “toh juga sholehah,, ga macem2, ga sampai mengundang laki-laki untuk melakukan kekerasan, bedanya Cuma casing doang,,yang penting isi, bedanya kamu pake kerudung aku ga.” Nah, hal ini yang dalam perspektif islam adalah memahami yang sebagian, namun meninggalkan sebagian yang lain, padahal agama harus dipahami secara keseluruhan, memang sebagai manusia tidak mungkin kita bisa melaksanakan semua perintah Allah, tapi apa saja yang mampu kita kerjakan, maka wajib untuk mengerjakannya dan ada kewajiban untuk mencari tahu tentang apa yang harusnya kita tahu, Allah akan melihat usaha kita.
Kita kembali ke bahasan awal, tentang Kekerasan terhadap wanita , kekerasan tidak akan terjadi jika manusia tidak melakukannya, manusia yang berkarakter dan berkepribadian baiklah yang sangat kecil kemungkinannya untuk melakukan kekerasan, dalam hal ini bisa kita sebut sebagai “akhlak”, akhlak akan terbentuk melalui proses pendidikan panjang...pendidikan sejak awal, dan yang paling awal adalah pendidikan keluarga, pendidikan oleh ibu yang sangat berpengaruh, Ibu merupakan seorang wanita. Maka dari itu, seorang wanita perlu untuk di didik sedemikian rupa...dan pendidikan terbaik dan benar adalah pendidikan yang berlandaskan agama, tentunya Islam untuk kita yang umat Muslim, bukan bentuk pendidikan yang lain, lebih-lebih lagi pendidikan sekuler yang memisahkan urusan agama dengan yang lain. Bagaimana jadinya jika wanita menjadi seperti yang dituntut dalam RUU kesetaraan Gender??? ( Coba bayangkan... seandainya ada wanita yang menuntut hak Keadilan dan kesetaraan karena merasa tersiksa mengurus anak-anaknya siang dan malam, sedangkan sang suami bekerja di kantor yang nyaman).
Sebenarnya, semua apa yang dituntut menjadi tidak perlu apabila kita semua taat terhadap ajaran agama, ( ada pernyataan: “ tapi kalau semua manusia taat,,,dunia ini ga da variasinya! Kiamat aja....!” ) Memang benar tidak ada yang semuanya taat, tapi bukan dengan mencari solusi dengan membuat aturan baru, ( tidak bisa dibilang dengan solusi ) yang sumbernya hanya logika atau bahkan nafsu manusia, lebih-lebih lagi dari liberalisme dan sekulerisme, tapi bagaimana kita kembali pada sumber utama yang mengatur kehidupan manusia, yang berasal dari Tuhan sang Pembuat Aturan hakiki.
( “ Dari tadi bicara masalah kembali ke ajaran agama,,,ajaran agama lagi! apa itu solusi? Kita butuh solusi yang cepat untuk menghentikan kekerasan secara nyata! Bukan dengan proses lama seperti itu...”), “ iya kah? Kalau kita analogikan dengan Terapi, mana yang lebih ampuh, terapi yang simptomatik atau yang kausatif? Bukankah terapi kausatif mengatasi masalah sampai ke akar-akarnya? Memang pengobatannya mulai dari sekarang, Hasil masih menunggu, dan akan butuh waktu yang tidak secepat terapi simptomatik, tapi hasilnya paten! ( ada lagi pernyataan: “Siapa Jamin ?” saya hanya bisa menjawab, Allah SWT yang Jamin ). Kalau yang simptomatik, diobati sekarang, sembuh,, tapi besok muncul lagi, besok kambuh lagi, bahkan bisa dapat komplikasi juga....perkara kita butuh solusi cepat”, ya memang! Sepakat! Tapi alangkah baiknya kalau solusi itu di tinjau dari segi penyebabnya, yaitu ada manusia yang punya karakter melakukan kekerasan...sekarang bagaimana kita memikirkan solusi untuk membentuk Karakter, karakter Prophetic yang sesuai dengan ajaran Islam. ( “wah, kalo begini nanti akan jadi kekuasaan Islam karena punya karakter Islami bahkan bisa jadi negara Islam,,, wah, ini bahaya ! berarti UU akan dihapus,,,Integrasi negara akan terpecah belah, dan umat lain tidak boleh melakukan Ibadah, dan tidak bisa menuntut hak-hak mereka.” “Begitukah?” Memang tetap akan ada pandangan lain yang menganggap ini suatu masalah, bahaya, tapi apa bahayanya??? Bukankah dahulu pada masa rasulullah hingga kekhalifahan terakhir kehidupan mereka baik-baik saja bahkan sejahtera meskipun didalam negara Islam? Karena memang sesungguhnya Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dan pemaksaan! Masa itu Umat islam hidup berdampingan dengan yahudi, Nasrani, dsb namun tetap aman dan damai. Islam memberikan hak kepada siapa saja menentukan Pilihannya termasuk agama, dan tidak akan diusik sedikitpun, mereka saling membantu, saling menghargai.
Tidak ada ceritanya Islam harus menguasai dan menjajah mereka, yang dilakukan adalah menyeru mereka kepada Tauhid, mengesakan Allah, kalaupun tidak mau,,,akan diberi syarat dan ketangguhan agar tetap dalam Perlindungan negara, apa syaratnya? Bahasan ini masuk wilayah shirah, silakan baca tentang shirah nabawi hingga kekhalifahan. Kalaupun kita pernah tahu mengenai peperangan dalam sejarah peradaban Islam, harus dikaji lebih dalam mengapa itu bisa terjadi, bagaimana Islam mengaturnya, dan bagaimana Perang itu dilaksanakan oleh umat Islam, tidak hanya melihat dan mendengar secara sepihak yang kadang sumbernya pun berpihak pada paham tertentu.
Dari sini, maka muncul pandangan ( Pribadi Penulis ), jika anda bukan muslim...tidak masalah, kami yakin anda percaya bahwa agama yang anda anut adalah benar menurut anda, ya silakan, kita saling menghargai, dan didik keluarga anda dengan karakter yang diperintahkan oleh agama anda, dan jikapun RUU ini bertentangan dengan ajaran agama anda,,,berarti kita punya misi yang sama untuk tidak menerima/TIDAK SETUJU diterapkannya RUU ini,,jikapun tidak bertentangan dengan ajaran agama anda,, maka hargailah ada ajaran agama lain yang patut diperjuangkan agar tidak menentang ajaran itu hanya karena sebuah RUU yang dibuat oleh manusia. Apakah kita sepakat? ^_^ banyak maaf, semoga Tuhan mengampuni kita semua.
Waktu tidak banyak lagi. KMKI akan bantu menyampaikan surat ibu MT, insists sudah bergerak, miumi dan majalah gontor juga sudah bergerak. Semoga teman-teman lain juga mau bergerak. Sebagai seorang muslim sudah menjadi kewajiban untuk melakukan kritisi terhadap RUU KKG ini, dan sudah sepantasnya umat muslim menolaknya. Untuk membela hukum Allah.
Semoga bermanfaat :)
Sebagai penguat opini penulis, kita perlu mengkaji latar belakang munculnya RUU ini, dan alasan yang tidak tepat dan tidak sesuai ajaran agama tersebut. Silakan berpendapat......
a. LATAR BELAKANG MUNCULNYA RUU KKG
Dalam Naskah Akademik tentang Kesetaraan Gender (NA RUU KKG) disebutkan bahwa Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) perlu disusun karena adanya ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan itu, katanya, disebabkan kuatnya budaya patriarki sehingga terjadi subordinasi, ketidakberdayaan perempuan dan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Sekilas tampak RUU KKG ini menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan Indonesia dan dapat melindungi mereka dari tindak kekerasan, deskriminasi serta hal-hal lainnya yang dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Namun apabila kita mau mengkaji lebih dalam, banyak hal yang perlu dikritisi dari RUU KKG tersebut. Salah satunya adalah konsep “Kesetaraan Gender” yang dijadikan alat analisis atau metodologi dalam perumusan norma-norma hukum RUU tersebut.
Dilihat dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender lahir dari pemberontakan perempuan Barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages) , dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun, Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Itu kemudian memunculkan gerakan perempuan Barat yang menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis. Kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang. 2
Dari latar belakang historis munculnya konsep kesetaraan gender, kita dapat menilai bahwa konsep ini secara substansial sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Alasannya, pertama; feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan liberalisme dan sekularisme yang telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam peradaban Barat. Sebagaimana kaum feminis Barat, kelompok yang menamakan diri “feminis muslim” juga menuding bahwa salah satu faktor yang paling mengemuka dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah interpretasi ajaran agama yang sangat didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal.
Mereka menganggap perlu dilakukan pembacaan ulang dan dekonstruksi atas penafsiran lama yang dinilai memiliki kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarki. Oleh karena itu, apabila konsep kesetaraan gender ini diterima, maka para feminis yang notabene ‘anti otoritas’, akan merasa berhak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa mengikuti metodologi ulama-ulama terdahulu sehingga akan terjadi dekonstruksi syariat Islam secara besar-besaran guna meloloskan kepentingan misi kaum liberal. Kesetaraan gender memang produk feminisme, dan feminisme adalah anak dari liberalisme yang memusuhi agama sebagaimana agama Kristen yang tersapu oleh gelombang liberalisme di Barat. Itulah fakta.1
Penjelasan lebih lanjut silakan buka link: http://muslimdaily.net/opini/opini-17/akar-masalah-konsep-ruu-kesetaraan-gender.html
Dari sisi pandangan umum, Merujuk pada draf RUU KKG yang disusun oleh Timja pada 24 Agustus 2011, ternyata hal-hal yang dibahas dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 sangat bermasalah. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi juga memberi beberapa kritik mendasar terhadap RUU ini. Utamanya terkait dengan istilah “Kesetaraan Gender”. Sebagai gantinya beliau melontarkan istilah “Keserasian Gender” sebuah gagasan cerdas untuk menjembatani gap antara karakter dasar dan peran sosial yang terlahir dari pendefinisian Timja RUU ini.
Secara umum, definisi yang diberikan untuk istilah-istilah seperti “gender”, “kesetaraan gender”, “keadilan gender”, “diskriminasi”, “pengarusutamaan gender”, “analisis gender”, dan “anggaran responsif gender” cenderung memarjinalkan nilai-nilai agama, memisahkan aspek biologis dan peran sosial, serta sarat dengan muatan feminisme Barat yang sekular dan seksis.
Berikut adalah sekilas contoh beberapa definisi yang bermasalah dalam ketentuan umum:
1. “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya”.
Kritik: a) Definisi di atas terlalu memisahkan aspek biologis dan sosial, padahal konstruk sosial dipengaruhi oleh aspek-aspek biologis. b) Definisi ini berarti membakukan teori gender yang tidak tunggal dan menghilangkan sifat dasar gender yang lentur dan tidak tetap seperti disebut dalam definisi. c) Kalimat “…dapat dipertukarkan menurut waktu..dst” berarti perempuan bisa mengambil seluruh peran laki-laki, dan laki-laki dapat mengambil seluruh peran perempuan. Hal ini akan sangat bertentangan dengan realitas sosial dan ajaran-ajaran agama dan budaya yang ada. Nilai-nilai feminisme konservatif memandang bahwa feminine dipandang simbol kelemahan dan ketergantungan. Untuk menghapus imej ini dalam diri perempuan, peran masculine dalam ranah publik maupun domestik perlu direbut. Sebab bagi kaum feminis tidak ada alasan biologis yang mengharuskan perempuan menjadi lembut dan laki-laki harus tegas.
Saran alternatif: Gender bisa didefinisikan sebagai perbedaan dan pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari perbedaan biologis yang sifatnya tetap dan pembedaan konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari. ( RUU KKG, Bab I, pasal 1).
2. “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan”. (RUU KKG, Bab I, pasal 1)
Kritik: a) Arti kesetaraan di sini bermasalah. Sebab (i) kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh aspek biologis tidak dapat disetarakan. (ii) kesetaraan di semua bidang kehidupan adalah mustahil. (iii) kesetaraan berbeda dengan “kesamaan”. Kesetaraan 50-50 tidak bisa dicapai oleh negara manapun. (iv) Semua agama membeda-bedakan posisi perempuan dan laki-laki, baik dari aspek biologis, maupun sosial.
Saran alternatif: Keserasian Gender adalah pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama dan keyakinan masyarakat.3
Baca lebih lanjut di : http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=319:ketentuan-umum-ruu-gender-problematik&catid=4:henri-shalahuddin
B. Keseteraan gender dalam perspektif Islam
Posisi Kaum Perempuan dalam Islam http://fsldk.org/
Draft RUU KKG Ã http://www.mediafire.com/?nr3ql9y5wompqa2
Sumber :
1. Media Nasional; Forum silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus Indonesia. Dipublikasi 06 April 2012. http://fsldk.org/. Diakses tanggal 7 April 2012.
2. Akar Masalah Konsep RUU Kesetaraan Gender. Dipublikasi 30 Maret 2012. http://muslimdaily.net. Di akses tanggal 7 April 2012.
3. Shalahuddin, H. Dipublikasi 02 April 2012. Ketentuan Umum RUU Gender Problematik . http://insistnet.com. Diakses tanggal 7 April 2012.
ditulis oleh: Shinta Septiarina ( Mahasiswi S1 Pend. Dokter FK UGM, Kemuslimahan FULDFK, Kemuslimahan KaLAM FK UGM )